SISTEM MANAJEMEN KINERJA
I.
Pendahuluan
Kinerja pada dasarnya merupakan hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Dalam hal ini, pegawai bisa belajar seberapa besar kinerja mereka melalui sarana informasi seperti komentar baik dari mitra kerja. Namun demikian penilaian kinerja yang mengacu kepada suatu sistem formal dan terstruktur yang mengukur, menilai dan mempengaruhi sifat-sifat yang berkaitan dengan pekerjaan perilaku dan hasil termasuk tingkat ketidakhadiran. Fokus penilaian kinerja adalah untuk mengetahui seberapa produktif seorang karyawan dan apakah ia bisa berkinerja sama atau lebih efektif di masa yang akan datang.
Begitu pentingnya masalah kinerja pegawai ini, sehingga tidak salah bila inti pengelolaan sumber daya manusia adalah bagaimana mengelola kinerja SDM. Mengelola manusia dalam konteks organisasi berarti mengelola manusia agar dapat menghasilkan kinerja yang optimal bagi organisasi. Oleh karenanya kinerja pegawai ini perlu dikelola secara baik untuk mencapai tujuan organisasi, sehingga menjadi suatu konsep manajemen kinerja (performance management).
Menurut definisinya, manajemen kinerja adalah proses berorientasi tujuan yang diarahkan untuk memastikan bahwa proses-proses organisasi ada pada tempatnya guna memaksimalkan produktivitas para karyawan, tim, dan akhirnya organisasi itu sendiri. Dalam manajemen kinerja kemampuan SDM sebagai kontributor individu dan bagian dari kelompok dikembangkan melalui proses bersama antara manajer dan individu yang lebih berdasarkan kesepakatan daripada instruksi. Kesepakatan ini meliputi tujuan (objectives), persyaratan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan, serta pengembangan kinerja dan perencanaan pengembangan pribadi. Manajemen kinerja bertujuan untuk dapat memperkuat budaya yang berorientasi pada kinerja melalui pengembangan keterampilan, kemampuan dan potensi-potensi yang dimiliki oleh SDM. Sifatnya yang interaktif ini akan meningkatkan motivasi dan memberdayakan SDM dan membentuk suatu kerangka kerja dalam pengembangan kinerja. Manajemen kinerja juga dapat menggalang partisipasi aktif setiap anggota organisasi untuk mencapai sasaran organisasi melalui penjabaran sasaran individu maupun kelompok sekaligus mengembangkan protensinya agar dapat mencapai sasarannya itu. Berdasarkan tugasnya ini, manajemen kinerja dapat dijadikan landasan bagi promosi, mutasi dan evaluasi, sekaligus penentuan kompensasi dan penyusunan program pelatihan. Manajemen kinerja juga dapat dijadikan umpan balik untuk pengembangan karier dan pengembangan pribadi SDM.
Keunggulan manajemen kinerja adalah penentuan sasaran yang jelas dan terarah. Di dalamnya terdapat dukungan, bimbingan, dan umpan balik agar tercipta peluang terbaik untuk meraih sasaran yang menyertai peningkatan komunikasi antara atasan dan bawahan. Hal ini karena pada dasarnya manajemen kinerja merupakan proses komunikasi berkelanjutan antara atasan dan bawahan dengan tujuan untuk memperjelas dan menyepakati hal-hal :
Kinerja pada dasarnya merupakan hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Dalam hal ini, pegawai bisa belajar seberapa besar kinerja mereka melalui sarana informasi seperti komentar baik dari mitra kerja. Namun demikian penilaian kinerja yang mengacu kepada suatu sistem formal dan terstruktur yang mengukur, menilai dan mempengaruhi sifat-sifat yang berkaitan dengan pekerjaan perilaku dan hasil termasuk tingkat ketidakhadiran. Fokus penilaian kinerja adalah untuk mengetahui seberapa produktif seorang karyawan dan apakah ia bisa berkinerja sama atau lebih efektif di masa yang akan datang.
Begitu pentingnya masalah kinerja pegawai ini, sehingga tidak salah bila inti pengelolaan sumber daya manusia adalah bagaimana mengelola kinerja SDM. Mengelola manusia dalam konteks organisasi berarti mengelola manusia agar dapat menghasilkan kinerja yang optimal bagi organisasi. Oleh karenanya kinerja pegawai ini perlu dikelola secara baik untuk mencapai tujuan organisasi, sehingga menjadi suatu konsep manajemen kinerja (performance management).
Menurut definisinya, manajemen kinerja adalah proses berorientasi tujuan yang diarahkan untuk memastikan bahwa proses-proses organisasi ada pada tempatnya guna memaksimalkan produktivitas para karyawan, tim, dan akhirnya organisasi itu sendiri. Dalam manajemen kinerja kemampuan SDM sebagai kontributor individu dan bagian dari kelompok dikembangkan melalui proses bersama antara manajer dan individu yang lebih berdasarkan kesepakatan daripada instruksi. Kesepakatan ini meliputi tujuan (objectives), persyaratan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan, serta pengembangan kinerja dan perencanaan pengembangan pribadi. Manajemen kinerja bertujuan untuk dapat memperkuat budaya yang berorientasi pada kinerja melalui pengembangan keterampilan, kemampuan dan potensi-potensi yang dimiliki oleh SDM. Sifatnya yang interaktif ini akan meningkatkan motivasi dan memberdayakan SDM dan membentuk suatu kerangka kerja dalam pengembangan kinerja. Manajemen kinerja juga dapat menggalang partisipasi aktif setiap anggota organisasi untuk mencapai sasaran organisasi melalui penjabaran sasaran individu maupun kelompok sekaligus mengembangkan protensinya agar dapat mencapai sasarannya itu. Berdasarkan tugasnya ini, manajemen kinerja dapat dijadikan landasan bagi promosi, mutasi dan evaluasi, sekaligus penentuan kompensasi dan penyusunan program pelatihan. Manajemen kinerja juga dapat dijadikan umpan balik untuk pengembangan karier dan pengembangan pribadi SDM.
Keunggulan manajemen kinerja adalah penentuan sasaran yang jelas dan terarah. Di dalamnya terdapat dukungan, bimbingan, dan umpan balik agar tercipta peluang terbaik untuk meraih sasaran yang menyertai peningkatan komunikasi antara atasan dan bawahan. Hal ini karena pada dasarnya manajemen kinerja merupakan proses komunikasi berkelanjutan antara atasan dan bawahan dengan tujuan untuk memperjelas dan menyepakati hal-hal :
- Fungsi pokok pekerjaan bawahan.
- Bagaimana pekerjaan bawahan berkontribusi pada pencapaian
tujuan organisasi.
- Pengertian “efektif” dan “berhasil” dalam pelaksanaan
pekerjaan bawahan.
- Bagaimana bawahan dapat bekerja sama dengan atasan dalam
rangka efektivitas pelaksanaan pekerjaan bawahan.
- Bagaimana mengukur efektivitas (baca : kinerja)
pelaksanaan pekerjaan bawahan.
- Berbagai hambatan efektivitas dan alternatif cara untuk
menyingkirkan hambatan-hambatan tersebut.
Manajemen
kinerja sangat bermanfaat bagi pihak atasan, bawahan dan organisasi. Bagi
atasan, manajemen kinerja mempermudah penyelesaian pekerjaan bawahan sehingga
atasan tidak perlu lagi repot mengarahkan dalam kegiatan sehari-hari karena
bawahan sudah tahu apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dicapai serta
mengantisipasi kemungkinan hambatan yang muncul. Bagi bawahan, manajemen
kinerja membuka kesempatan diskusi dan dialog dengan atasan berkaitan dengan
kemajuan pekerjaannya. Adanya diskusi dan dialog memberikan umpan balik untuk
memperbaiki kinerja sekaligus meningkatkan keahliannya dalam menyelesaikan
pekerjaan. Selain itu manajemen kinerja juga memberdayakan bawahan karena ia
tidak perlu sedikit-sedikit “mohon petunjuk” kepada atasan karena telah
diberikan arahan yang jelas sejak awal. Bagi organisasi, manajemen kinerja
memungkinkan keterkaitan antara tujuan organisasi dan tujuan pekerjaan
masing-masing bawahan. Selain itu, manajemen kinerja mampu untuk memberikan argumentasi
yang relatif kuat untuk setiap keputusan yang menyangkut SDM.
II. Prinsip Dasar Penerapan Manajemen Kinerja
Untuk dapat menerapkan manajemen kinerja dalam suatu organisasi, diperlukan adanya prasyarat dasar yang harus dipenuhi dalam suatu organisasi, yaitu :
II. Prinsip Dasar Penerapan Manajemen Kinerja
Untuk dapat menerapkan manajemen kinerja dalam suatu organisasi, diperlukan adanya prasyarat dasar yang harus dipenuhi dalam suatu organisasi, yaitu :
- Adanya suatu indikator kinerja (key performance
indicator) yang terukur secara kuantitatif dan jelas batas waktunya.
Ukuran ini harus dapat menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi oleh
organisasi tersebut. Jika perusahaan yang berorientasi pada profit, maka
ukurannya adalah ukuran finansial seperti omset penjualan, laba bersih,
pertumbuhan penjualan dan lain-lain. Sedangkan pada organisasi nirlaba
seperti organisasi pemerintahan maka ukuran kinerjanya adalah berbagai
bentuk pelayanan kepada masyarakat. Semua harus terukur secara kuantitatif
dan dapat dimengerti oleh berbagai pihak yang terkait, sehingga bila nanti
dievaluasi dapat diketahui apakah kinerja sudah dapat mencapai target atau
belum. Michael Porter, profesor dari Harvard Business of School menyatakan
bahwa kita tidak bisa memanajemeni sesuatu yang tidak dapat kita ukur.
Organisasi yang tidak memiliki indikator kinerja biasanya tidak bisa
diharapkan untuk mampu mencapai kinerja yang memuaskan pihak yang
berkepentingan (stakeholders).
- Semua ukuran kinerja tersebut biasanya dituangkan dalam
suatu bentuk kesepakatan antara atasan dan bawahan yang sering disebut
sebagai suatu kontrak kinerja (performance contract). Dengan adanya
kontrak kinerja, maka atasan bisa menilai apakah si bawahan sudah mencapai
kinerja yang diinginkan atau belum. Kontrak kinerja ini berisikan suatu
kesepakatan antara atasan dan bawahan mengenai indikator kinerja yang
ingin dicapai, baik mengenai sasaran pencapaiannya maupun jangka waktu
pencapaiannya. Ada dua hal yang perlu dicantumkan dalam kontrak kinerja
yaitu sasaran akhir yang ingin dicapai (lag) serta program kerja
untuk mencapainya (lead). Keduanya perlu dicantumkan supaya pada
saat evaluasi nanti berbagai pihak bersikap secara fair, dan tidak melihat
hasil akhir semata, namun juga proses kerjanya. Bisa saja seorang bawahan
belum mencapai semua hasil kerja yang ditargetkan, tetapi dia sudah
melaksanakan semua program kerja yang sudah digariskan. Tentu saja atasan
tetap harus memberikan reward untuk dedikasinya, walaupun sasaran akhir
belum tercapai. Hal ini juga bisa menjadi dasar untuk perbaikan di masa
mendatang (continuous improvement).
- Terdapat suatu proses siklus manajemen kinerja yang baku
dan dipatuhi untuk dikerjakan bersama, yaitu :
- Perencanaan kinerja, berupa penetapan indikator kinerja lengkap dengan berbagai strategi dan program kerja yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang diinginkan.
- Pelaksanaan, di mana organisasi bergerak sesuai dengan rencana yang telah dibuat, jika ada perubahan akibat adanya perkembangan baru maka lakukan perubahan tersebut.
- Evaluasi kinerja, yaitu menganalisis apakah realisasi kinerja sesuai dengan rencana yang sudah ditetapkan sebelumnya. Semuanya ini harus serba kuantitatif. - Adanya suatu sistem reward and punishment yang
bersifat konstruktif dan konsisten dijalankan. Konsep reward ini
tidak selalu harus bersifat finansial, tetapi bisa juga berupa bentuk lain
seperti promosi, kesempatan pendidikan dan lain-lain. Reward and
punishment diberikan setelah melihat hasil realisasi kinerja, apakah
sesuai dengan indikator kinerja yang telah direncanakan atau belum. Tentu
saja harus ada suatu performance appraisal atau penilaian kinerja lebih
dahulu sebelum reward and punishment. Penerapan punishment ini
harus hati-hati, karena dalam banyak hal pembinaan jauh lebih bermanfaat.
- Terdapat suatu mekanisme performance appraisal atau
penilaian kinerja yang relatif obyektif yaitu dengan melibatkan berbagai
pihak. Konsep yang sangat terkenal adalah penilaian 360 derajat, di mana
penilaian kinerja dilakukan oleh atasan, bawahan, rekan sekerja, dan
pengguna jasa, karena pada prinsipnya manusia itu berpikir secara
subyektif, namun dengan berpikir bersama mampu untuk mengubah sikap
subyektif itu menjadi mendekati obyektif, atau berpikir bersama jauh lebih
obyektif daripada berpikir sendiri-sendiri. Ini adalah semangat dalam
konsep penilaian 360 derajat.
- Terdapat suatu gaya kepemimpinan (leadership style)
yang mengarah kepada pembentukan organisasi berkinerja tinggi. Inti dari
kepemimpinan seperti ini adalah adanya suatu proses coaching,
counseling, dan empowerment kepada para bawahan atau sumber daya
manusia di dalam manusia. Suatu aspek lain yang sangat penting dalam gaya
kepemimpinan adalah sikap followership atau menjadi pengikut. Bagaimana
jadinya bila semua orang menjadi komandan dalam organisasi? Bukan kinerja
tinggi yang tercapai, namun kekacauan yang ada. Pada dasarnya seseorang
itu harus memiliki jiwa kepemimpinan, tetapi dalam situasi yang lain dia
juga harus memahami bahwa dia merupakan bagian dari sebuah sistem
organisasi yang lebih besar yang harus diikuti.
- Menerapkan konsep manajemen SDM berbasis kompetensi.
Umumnya organisasi yang berkinerja tinggi memiliki kamus kompetensi dan
menerapkan kompetensi itu tersebut kepada hal-hal yang penting, seperti
manajemen kinerja, rekruitmen, seleksi, pendidikan, pengembangan pegawai,
dan promosi. Kompetensi ini meliputi kompetensi inti organisasi,
kompetensi perilaku, dan kompetensi teknis yang spesifik dalam pekerjaan.
Jika kompetensi ini sudah dibakukan dalam organisasi, maka kegiatan
manajemen SDM akan menjadi lebih transparan, dan pimpinan organisasi juga
dengan mudah mengetahui kompetensi apa saja yang perlu diperbaiki untuk
membawa organisasi menjadi berkinerja tinggi.
III. Siklus
Manajemen Kinerja
Tahap-tahap dalam manajemen kinerja meliputi tahap penentuan objectives, penentuan sasaran yang berorientasi pada perilaku, menyiapkan dukungan yang diperlukan, evaluasi dan pengembangan serta memberi penghargaan. Proses manajemen kinerja melibatkan perencanaan, coaching dan review. Dalam perencanaan diidentifikasi dan ditentukan tingkat kinerja, apa sasarannya serta bagaimana perilaku untuk mencapai sasaran, Dalam coaching dilakukan evaluasi, dukungan dan pengarahan secara berkesinambungan melalui diskusi dua arah. Dalam proses review dilakukan evaluasi terhadap pencapaian dan terhadap sasaran yang ditentukan dan hasilnya dijadikan sebagai umpan balik.
Pengukuran kinerja merupakan salah satu hal yang mendasar dalam manajemen kinerja. manfaatnya sebagai landasan untuk memberikan umpan balik, mengidentifikasi butir-butir kekuatan untuk mengembangkan kinerja di masa mendatang, serta mengidentifikasi butir-butir kelemahan sebagai sarana koreksi dan pengembangan. Langkah ini sebagai jawaban terhadap dua persoalan utama yaitu apakah kita sudah mengerjakan hal yang benar dan apakah sudah mengerjakannya dengan baik.
Persoalan utama dalam pengukuran kinerja adalah kita telah mengukur hal yang strategis dan memberi nilai tambah terhadap strategi organisasi secara keseluruhan. Masalah lain yang perlu diwaspadai adalah terlalu berorientasi pada hasil dan mengabaikan proses, sistem remunerasi yang tidak mendukung kinerja, dan pengukuran yang tidak berdasarkan pada team business structure.
Evaluasi kinerja memiliki fokus yang berbeda tergantung kepada jenjang manajemennya. Bagi manajemen senior fokus evaluasi pada sasaran organisasi dan kemampuannya untuk meraih hasil yang utama. Untuk jenjang manajer madya memiliki fokus yang seimbang antara pencapaian sasaran perusahaan, kemampuan dan tugas-tugas baku. Bagi karyawan administrasi fokus evaluasi pada kemampuan mengerjakan tugas-tugas baku dan keluaran, sedangkan untuk jenjang operator terutama berfokus pada keluaran.
Dalam pelaksanaan manajemen kinerja terdapat lima komponen pokok, yaitu :
a. Perencanaan kinerja, di mana atasan dana bawahan berupaya merumuskan, memahami dan menyepakati target kinerja bawahan dalam rangka mengoptimalkan kontribusinya terhadap pencapaian tujuan-tujuan organisasi. Pada saat perencanaan kinerja ini atasan membantu bawahan dan menterjemahkan tujuan-tujuan organisasi ke dalam target kinerja individual dalam batasan anggaran yang tersedia.
b. Komunikasi berkelanjutan antara atasan dan bawahan guna memastikan bahwa apa yang telah, sedang dan akan dilakukan bawahan mengarah pada target kinerjanya sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak, hal ini juga berguna untuk mengantisipasi segala persoalan yang timbul.
c. Pengumpulan data dan informasi oleh masing-masing pihak sebagai bukti pendukung realisasi kinerja bawahan. Pengumpulan dapat dilakukan melalui formulir penilaian kinerja, observasi langsung maupun tanya jawab dengan pihak-pihak terkait.
d. Pertemuan tatap muka antara atasan dan bawahan selama periode berjalan. Pada saat inilah bukti-bukti otentik kinerja bawahan diklarifikasi, didiskusikan, dan disimpulkan bersama sebagai kinerja bawahan pada periode tersebut.
e. Diagnosis berbagai hambatan efektivitas kinerja bawahan dan tindak lanjut bimbingan yang dapat dilakukan atasan guna menyingkirkan hambatan-hambatan tersebut guna meningkatkan kinerja bawahan. Dengan adanya diagnosis dan bimbingan ini, bawahan tidak merasa “dipersalahkan” atas kegagalan mencapai target kinerja yang telah disepakati dan sekaligus menunjukkan niatan bahwa persoalan kinerja bawahan adalah persoalan atasan juga.
IV. Permasalahan dan Kendala dalam Penerapan Manajemen Kinerja
Begitu bermanfaat dan powerful-nya peranan manajemen kinerja, namun dalam pelaksanaannya seringkali terdapat persoalan, baik dari sisi atasan maupun sisi bawahan. Dari sisi atasan sebagai pejabat penilai ada keengganan menerapkannya karena faktor-faktor sebagai berikut :
Tahap-tahap dalam manajemen kinerja meliputi tahap penentuan objectives, penentuan sasaran yang berorientasi pada perilaku, menyiapkan dukungan yang diperlukan, evaluasi dan pengembangan serta memberi penghargaan. Proses manajemen kinerja melibatkan perencanaan, coaching dan review. Dalam perencanaan diidentifikasi dan ditentukan tingkat kinerja, apa sasarannya serta bagaimana perilaku untuk mencapai sasaran, Dalam coaching dilakukan evaluasi, dukungan dan pengarahan secara berkesinambungan melalui diskusi dua arah. Dalam proses review dilakukan evaluasi terhadap pencapaian dan terhadap sasaran yang ditentukan dan hasilnya dijadikan sebagai umpan balik.
Pengukuran kinerja merupakan salah satu hal yang mendasar dalam manajemen kinerja. manfaatnya sebagai landasan untuk memberikan umpan balik, mengidentifikasi butir-butir kekuatan untuk mengembangkan kinerja di masa mendatang, serta mengidentifikasi butir-butir kelemahan sebagai sarana koreksi dan pengembangan. Langkah ini sebagai jawaban terhadap dua persoalan utama yaitu apakah kita sudah mengerjakan hal yang benar dan apakah sudah mengerjakannya dengan baik.
Persoalan utama dalam pengukuran kinerja adalah kita telah mengukur hal yang strategis dan memberi nilai tambah terhadap strategi organisasi secara keseluruhan. Masalah lain yang perlu diwaspadai adalah terlalu berorientasi pada hasil dan mengabaikan proses, sistem remunerasi yang tidak mendukung kinerja, dan pengukuran yang tidak berdasarkan pada team business structure.
Evaluasi kinerja memiliki fokus yang berbeda tergantung kepada jenjang manajemennya. Bagi manajemen senior fokus evaluasi pada sasaran organisasi dan kemampuannya untuk meraih hasil yang utama. Untuk jenjang manajer madya memiliki fokus yang seimbang antara pencapaian sasaran perusahaan, kemampuan dan tugas-tugas baku. Bagi karyawan administrasi fokus evaluasi pada kemampuan mengerjakan tugas-tugas baku dan keluaran, sedangkan untuk jenjang operator terutama berfokus pada keluaran.
Dalam pelaksanaan manajemen kinerja terdapat lima komponen pokok, yaitu :
a. Perencanaan kinerja, di mana atasan dana bawahan berupaya merumuskan, memahami dan menyepakati target kinerja bawahan dalam rangka mengoptimalkan kontribusinya terhadap pencapaian tujuan-tujuan organisasi. Pada saat perencanaan kinerja ini atasan membantu bawahan dan menterjemahkan tujuan-tujuan organisasi ke dalam target kinerja individual dalam batasan anggaran yang tersedia.
b. Komunikasi berkelanjutan antara atasan dan bawahan guna memastikan bahwa apa yang telah, sedang dan akan dilakukan bawahan mengarah pada target kinerjanya sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak, hal ini juga berguna untuk mengantisipasi segala persoalan yang timbul.
c. Pengumpulan data dan informasi oleh masing-masing pihak sebagai bukti pendukung realisasi kinerja bawahan. Pengumpulan dapat dilakukan melalui formulir penilaian kinerja, observasi langsung maupun tanya jawab dengan pihak-pihak terkait.
d. Pertemuan tatap muka antara atasan dan bawahan selama periode berjalan. Pada saat inilah bukti-bukti otentik kinerja bawahan diklarifikasi, didiskusikan, dan disimpulkan bersama sebagai kinerja bawahan pada periode tersebut.
e. Diagnosis berbagai hambatan efektivitas kinerja bawahan dan tindak lanjut bimbingan yang dapat dilakukan atasan guna menyingkirkan hambatan-hambatan tersebut guna meningkatkan kinerja bawahan. Dengan adanya diagnosis dan bimbingan ini, bawahan tidak merasa “dipersalahkan” atas kegagalan mencapai target kinerja yang telah disepakati dan sekaligus menunjukkan niatan bahwa persoalan kinerja bawahan adalah persoalan atasan juga.
IV. Permasalahan dan Kendala dalam Penerapan Manajemen Kinerja
Begitu bermanfaat dan powerful-nya peranan manajemen kinerja, namun dalam pelaksanaannya seringkali terdapat persoalan, baik dari sisi atasan maupun sisi bawahan. Dari sisi atasan sebagai pejabat penilai ada keengganan menerapkannya karena faktor-faktor sebagai berikut :
- Formulir dan tata cara penilaian seringkali sulit untuk
dimengerti di mana kriteria-kriteria yang digunakan tidak jelas
pengertiannya atau memiliki pengertian yang kabur, sehingga menimbulkan
multi interpretasi, dan tata caranya berbelit-belit.
- Atasan tidak memiliki cukup waktu untuk menerapkan
manajemen kinerja, karena persoalan pertama tadi,
- Tidak ingin berkonfrontasi dengan bawahan, terutama
mereka yang dinilai kinerjanya kurang baik. Sebab keengganan ini yaitu
atasan tidak punya argumentasi yang kuat akibat tidak jelasnya kriteria
penilaian yang digunakan. Selain itu atasan tidak ingin merusak hubungan
baik dengan bawahan, misalnya karena satu nilai buruk, padahal hubungan
baik sangat penting untuk bekerja sama dengan bawahan.
- Atasan kurang mengetahui rincian pekerjaan sehingga tidak
mengerti aspek-aspek apa yang harus diperhatikan ketikan melakukan penilaian
dengan menggunakan kriteria yang telah ditetapkan. Hal ini berpengaruh
pada kemampuan atasan memberikan umpan balik secara efektif guna perbaikan
kinerja bawahan. Logikanya, bagaimana ia bisa memberikan masukan bila ia
tidak mengerti betul liku-liku pekerjaan bawahan.
Sedangkan
keengganan dari sisi bawahan sebagai pihak yang dinilai adalah :
- Pengalaman buruk di masa lalu, di mana atasan
memperlakukan kinerja bawahan yang kurang baik dengan sinis atau acuh
sehingga bawahan tidak mendapatkan umpan balik yang bermanfaat bagi
perbaikan kinerjanya.
- Bawahan tidak suka dikritik, terutama bila dikaitkan
dengan kinerjanya. Hal ini mungkin karena poin pertama, di mana atasan
hanya bisa mengkritik tanpa memberikan jalan keluar yang jelas.
- Ada rasa takut karena ketidakjelasan kriteria dan standar
penilaian sehingga baik buruknya kinerja bawahan menjadi sangat subyektif
(unsur suka atau tidak suka atasan terhadap bawahan amat dominan terhadap
nilai kinerja bawahan), padahal hasil penilaian kinerja menentukan banyak
hal penting bagi bawahan, di antaranya kenaikan pangkat, gaji dan
perolehan bonus/insentif.
- Bawahan tidak mengerti betul manfaat diterapkannya
manajemen kinerja seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Hal ini karena
kurang sosialisasi peran penting manajemen kinerja bagi keberhasilan
organisasi.
V. Kiat Praktis Penerapan Manajemen Kinerja
Supaya berhasil dalam menerapkan manajemen kinerja ada kiat-kiat sebagai berikut :
a. Sederhana, termasuk di dalamnya formulir penilaian yang isinya mudah dimengerti dan tata cara penilaian yang tidak berbelit-belit. Kesederhanaan ini penting untuk mencegah keengganan berbagai pihak yang akan menerapkannya.
b. Seminimal mungkin menggunakan dokumen cetak karena di samping biaya, akan mengurangi kesan kesederhanaan manajemen kinerja. Bagaimana dapat dikatakan sederhana bila formulir untuk penilaian terdiri dari 10 lembar ukuran dobel folio?
c. Seminimal mungkin menggunakan waktu kerja. Hal ini terkait dengan dua butir pertama karena manajemen kinerja yang sederhana dan tidak banyak menggunakan dokumen cetak biasanya tidak membutuhkan banyak waktu.
d. Senyaman mungkin penerapannya bagi sebanyak mungkin pihak. Nyaman mungkin bersifat sangat relatif, namun ketiga butir di atas bisa dijadikan patokan kenyamanan, ditambah dengan pengkomunikasian apa saja manfaat manajemen kinerja dan menyiapkan pihak-pihak yang terlibat dalam implementasi manajemen kinerja (melalui pelatihan atau sejenisnya) sehingga pada saatnya tidak ada kendala kompetensi baik dari sisi penilai maupun dari sisi yang dinilai.
e. Memenuhi keinginan atasan, bawahan dan organisasi, yaitu adanya perbaikan kinerja bawahan, unit kerja dan organisasi.
Supaya berhasil dalam menerapkan manajemen kinerja ada kiat-kiat sebagai berikut :
a. Sederhana, termasuk di dalamnya formulir penilaian yang isinya mudah dimengerti dan tata cara penilaian yang tidak berbelit-belit. Kesederhanaan ini penting untuk mencegah keengganan berbagai pihak yang akan menerapkannya.
b. Seminimal mungkin menggunakan dokumen cetak karena di samping biaya, akan mengurangi kesan kesederhanaan manajemen kinerja. Bagaimana dapat dikatakan sederhana bila formulir untuk penilaian terdiri dari 10 lembar ukuran dobel folio?
c. Seminimal mungkin menggunakan waktu kerja. Hal ini terkait dengan dua butir pertama karena manajemen kinerja yang sederhana dan tidak banyak menggunakan dokumen cetak biasanya tidak membutuhkan banyak waktu.
d. Senyaman mungkin penerapannya bagi sebanyak mungkin pihak. Nyaman mungkin bersifat sangat relatif, namun ketiga butir di atas bisa dijadikan patokan kenyamanan, ditambah dengan pengkomunikasian apa saja manfaat manajemen kinerja dan menyiapkan pihak-pihak yang terlibat dalam implementasi manajemen kinerja (melalui pelatihan atau sejenisnya) sehingga pada saatnya tidak ada kendala kompetensi baik dari sisi penilai maupun dari sisi yang dinilai.
e. Memenuhi keinginan atasan, bawahan dan organisasi, yaitu adanya perbaikan kinerja bawahan, unit kerja dan organisasi.
VI.
Manajemen Kinerja Dalam Sistem Manajemen PNS di Indonesia
Sistem
kepegawaian yang berlaku di Indonesia belum memberikan perhatian yang memadai
bagi pengelolaan kinerja para pegawai negeri sipilnya. Akibatnya kinerja PNS
selalu bergerak pada tataran yang tidak memuaskan banyak pihak. Sekalipun
dampak negatifnya telah terlihat jelas seperti lambatnya respon terhadap
penangganan bencana alam, rendahnya kualitas pelayanan dasar kepada masyarakat,
masih tingginya kasus pungutan liar, kurang efektifnya kebijakan pencegahan
pembalakan liar dan lain-lain, namun pendekatan yang sistematis terhadap
peningkatan kinerja PNS dinilai masih berjalan di tempat.
Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 tentang
Perubahan Atas UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian dalam
kenyataannya selama sembilan tahun terakhir terbukti belum mampu berfungsi
sebagi key leverage bagi perbaikan sistem manajemen PNS khususnya perbaikan
kinerja individu PNS. Dengan berbagai keterbatasan kebijakan dan perangkat
peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian, beberapa pemerintah daerah
telah mengambil inisiatif dan prakarsa untuk merumuskan pendekatan sendiri
dalam pengelolaan pegawai negeri sipilnya. Sistem pengukuran kinerja dan
penetapan tunjangan kinerja bagi pegawai negeri sipilnya adalah dua hal pokok
yang telah diinisiasi oleh sejumlah pemerintah daerah untuk mengatasi kelemahan
DP-3 dan sekaligus untuk memotivasi PNS.
Beberapa kelemahan dalam implementasi esensi
manajemen kinerja di lingkungan pemerintah daerah tersebut diantaranya adalah
(1) prosesnya belum dimulai dari sebuah perencanaan yang jelas; (2) instrumen,
mekanisme dan proses penilaian kinerja PNS belum mampu mengukur kontribusi
masing-masing PNS terhadap pencapaian tujuan organisasi; (3) pengukuran kinerja
belum terintegrasi dalam kesepakatan/kontrak kinerja; (4) kesepakatan/kontrak
kinerja baru menyentuh pejabat struktural; (5) target kinerja individu belum
ditetapkan dan juga belum dikaitkan dengan target kinerja unit organisasi; (6)
penetapan besarnya tunjangan kinerja yang diberikan kepada PNS belum sepenuhnya
sesuai dengan kontribusi PNS yang bersangkutan; dan (7) hasil penilaian kinerja
belum ditindaklanjuti sebagaimana mestinya. Sekalipun dengan berbagai
kelemahan, inisiatif dan prakarsa pemerintah daerah tersebut perlu dihargai
semua pihak.
Manajemen kinerja sesungguhnya dapat
diimplementasikan bagi PNS khususnya untuk mereka yang memegang jabatan
struktural dan jabatan fungsional umum. Untuk mendukung implementasi manajemen
kinerja bagi PNS ini diperlukan beberapa strategi yaitu : (a) melakukan
pendekatan manajemen kinerja kepada segenap stakeholder. Diseminasi ini
dimaksudkan untuk membangun kesadaran dan pemahaman tentang pentingnya
pengelolaan kinerja PNS; (b) selama proses diseminasi berlangsung, dilakukan
analisis jabatan dan analisisi beban kerja dalam rangka mendefinsikan tugas,
pekerjaan, peran, tanggungjawab, tujuan, dan beban kerja setiap individu PNS;
dan (c) menggalang dukungan politik untuk mengamandemen UU No. 43 Tahun 1999.
Memperhatikan hasil-hasil temuan, kajian ini
merekomendasikan atau menyarankan hal-hal sebagai berikut : (1) agar dapat
mengimplementasikan manajemen kinerja bagi PNS, perlu diperjelas tugas,
pekerjaan, peran dan tanggungjawab masing-masing PNS dalam kaitannya dengan
upaya pencapaian tujuan organisasi. Dengan demikian, setiap individu PNS
memiliki peran, tanggungjawab dan tujuan yang jelas. Manajemen kinerja bagi PNS
tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya jika hal-hal tersebut belum
didefinisikan secara jelas. (2) Perlu dilakukan analisis kompetensi untuk
setiap individu PNS. Analisis kompetensi ini penting dilakukan untuk memenuhi
dua tujuan yaitu (a) untuk mengetahui kompetensi yang sesungguhnya dari setiap
individu PNS karena kompetensi memiliki hubungan yang sangat erat dengan
kinerja; (b). Untuk keperluan penempatan PNS dalam jabatan. (3) Sebelum
manajemen kinerja diimplementasikan, penempatan setiap individu PNS – khususnya
dalam jabatan struktural dan jabatan fungsional maupun – perlu disesuaikan
dengan kompetensi. Hal ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa setiap PNS yang
duduk dalam suatu jabatan tertentu adalah orang yang tepat. PNS yang menduduki
suatu jabatan yang tidak sesuai dengan kompetensinya, tidak dapat diharapkan
banyak untuk berkinerja tinggi. (4) Implementasi manajemen kinerja memerlukan
dukungan perangkat peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, UU No. 43
tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Kepegawaian perlu diamandemen atau bahkan diganti. Dukungan politik dari
pihak-pihak terkait sangat dibutuhkan.
SUMBER : DARI BERBAGAI ARTIKEL